Beda Pandangan Bukan Bencana: Seni Berdialog di Tengah Polarisasi Politik


NURUL EKA
 - Di era ketika perbedaan pendapat seolah menjadi momok, dan media sosial menjadi medan tempur opini, kita semakin kehilangan kemampuan untuk berdialog. Perbedaan pandangan politik, yang seharusnya menjadi kekuatan dalam sistem demokrasi, justru berubah menjadi sumber konflik yang tak jarang berujung pada permusuhan pribadi, retaknya pertemanan, bahkan perpecahan dalam keluarga.

Saya telah mengamati berbagai sistem politik di belahan dunia—dari debat parlemen di Inggris, demokrasi deliberatif di Jerman, hingga praktik komunitarianisme di Jepang. Dan satu kesimpulan besar yang saya dapat: demokrasi yang sehat bukan yang menghindari konflik, tetapi yang tahu bagaimana mengelola perbedaan secara dewasa.

Jadi, apa yang seharusnya kita lakukan saat berbeda pandangan politik? Mari kita bedah satu per satu.

1. Memandang Lawan Politik Sebagai Mitra Dialog, Bukan Musuh

Sering kali kita terjebak dalam dikotomi hitam-putih: kalau bukan "kita", pasti "mereka". Cara berpikir seperti ini menutup ruang bagi kompromi, dan hanya menyisakan arena saling jegal.

Kita perlu mengadopsi cara pandang baru: bahwa lawan politik adalah bagian dari keseimbangan sistem. Mereka adalah cermin yang bisa memperlihatkan titik lemah argumen kita, sekaligus memperkaya perspektif. Di banyak negara Skandinavia, misalnya, koalisi antar partai yang berbeda ideologi sudah jadi hal lumrah. Mereka fokus pada titik temu, bukan perbedaan.

2. Praktikkan Civic Listening: Mendengar dengan Niat Memahami

Mendengarkan adalah tindakan politik yang revolusioner. Dalam debat politik, terlalu banyak orang yang “mendengar untuk menjawab” bukan “mendengar untuk memahami”.

Listening civically berarti memberi ruang bagi orang lain menjelaskan pandangannya, tanpa langsung menyela atau menghakimi. Ini bukan berarti kita harus setuju, tapi kita berusaha mengerti latar belakang pemikirannya—entah karena pengalaman hidup, pendidikan, atau realitas sosial yang berbeda.

Di sini letak pentingnya empati dalam politik. Politik bukan sekadar adu argumen, tapi juga tentang mengelola perasaan dan harapan masyarakat.

3. Fokus pada Isu, Bukan Identitas

Labeling adalah racun dalam diskusi publik. Begitu seseorang diberi label “cebong” atau “kampret”, kita berhenti mendengarkan argumennya. Kita menghakimi sebelum memahami. Diskursus menjadi dangkal, dan ruang dialog berubah jadi ajang saling mencaci.

Mari geser fokus dari siapa yang bicara menjadi apa yang dibicarakan. Evaluasi argumen, bukan identitas. Karena ide yang bagus bisa datang dari siapa saja—entah dia pemuda desa, aktivis kampus, atau politisi senior.

4. Bawa Data, Kurangi Drama

Kita hidup di zaman informasi, tapi juga diserbu disinformasi. Banyak orang terlalu cepat menyebar opini yang bombastis tanpa verifikasi. Emosi diutamakan, logika diabaikan.

Jika ingin berdiskusi politik dengan sehat, biasakan membawa data dan sumber yang kredibel. Gunakan argumen berbasis fakta, bukan sekadar perasaan atau kabar burung. Politik yang kuat bukan yang paling emosional, tapi yang paling rasional.

Jadikan setiap perdebatan sebagai peluang belajar, bukan hanya ajang pembuktian siapa yang paling lantang.

5. Jadi Teladan di Ruang Digital

Media sosial telah menjadi panggung politik utama hari ini. Sayangnya, algoritma platform cenderung menciptakan echo chamber—ruang gema yang hanya menampilkan informasi searah dengan pandangan kita. Ini mempersempit perspektif dan memperkuat polarisasi.

Apa yang bisa kita lakukan? Menjadi teladan. Tunjukkan bahwa kita bisa tidak setuju tanpa memaki. Bahwa kita bisa mendebat dengan data, bukan dengan dendam. Bahwa berbeda bukan berarti bercerai, dan kritik bukan bentuk kebencian.

Posting, komentar, dan reaksi kita di media sosial membentuk budaya politik digital yang akan diwariskan ke generasi berikutnya.

Penutup: Demokrasi Bukan Ajang Menang Sendiri

Kita harus ingat bahwa demokrasi bukan kompetisi untuk menang mutlak. Demokrasi adalah seni mengelola perbedaan, menegosiasikan kepentingan, dan membangun konsensus.

Perbedaan pandangan politik adalah keniscayaan dalam masyarakat yang beragam. Tapi bagaimana kita menyikapi perbedaan itu—dengan kebencian atau kebijaksanaan—akan menentukan apakah bangsa ini tumbuh atau tumbang.

Maka, jika kita sungguh mencintai negeri ini, mari mulai berdialog dengan lebih bijak. Mari dengarkan sebelum bicara. Mari pikirkan dampak sebelum mengunggah. Mari debat dengan niat membangun, bukan menjatuhkan.

Karena pada akhirnya, politik adalah tentang masa depan bersama, bukan ego pribadi.