Beda Pendapat Bukan Bencana: Seni Menyatukan Visi dalam Organisasi


NURUL EKA
 - Dalam dinamika sebuah organisasi, perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah, bahkan bisa dibilang tak terhindarkan. Setiap individu membawa latar belakang, pengalaman, dan sudut pandang yang berbeda. Namun, yang perlu selalu diingat adalah bahwa tujuan utama dari berorganisasi bukanlah untuk menonjolkan ego atau kepentingan pribadi, melainkan untuk bersama-sama mencapai tujuan bersama yang telah disepakati.

Sering kali, konflik dalam organisasi muncul bukan karena perbedaan pendapat itu sendiri, melainkan karena cara menyikapinya. Ketika perbedaan dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai kekayaan perspektif, maka yang terjadi adalah pertengkaran, saling menjatuhkan, bahkan perpecahan. Padahal, jika dikelola dengan bijak, perbedaan bisa menjadi kekuatan yang luar biasa.

Studi kasus menarik bisa kita lihat dari komunitas sosial Sekolah Perempuan di NTB, yang berfokus pada pemberdayaan perempuan desa melalui pendidikan dan pengorganisasian komunitas. Dalam perjalanan mereka membentuk koperasi simpan pinjam, sempat terjadi perbedaan tajam antara anggota yang ingin koperasi fokus pada pembiayaan usaha rumah tangga, dan yang ingin memperluas pada pertanian kolektif. Alih-alih memaksakan kehendak, para pengurus mengadakan musyawarah berkali-kali, mempertemukan argumen, hingga akhirnya memutuskan model koperasi ganda yang mengakomodasi dua kepentingan tersebut. Hasilnya? Koperasi justru tumbuh lebih cepat karena menjangkau lebih banyak kebutuhan anggota.

Organisasi yang sehat adalah organisasi yang mampu menciptakan ruang aman untuk berdialog. Anggota diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangannya, didengar, dan dihargai. Diskusi yang terbuka dan jujur, meskipun kadang memanas, justru menjadi pupuk bagi lahirnya keputusan-keputusan yang lebih matang dan inklusif. Dalam suasana seperti inilah, ide-ide besar lahir.

Seorang tokoh komunitas sosial, Lilik Haniyah, pendiri komunitas pemberdayaan “Sahabat Perempuan” di Jawa Tengah, pernah mengatakan, “Dalam organisasi, setiap suara itu penting. Tapi suara yang paling penting adalah suara bersama, bukan suara yang paling keras.” Sebuah kutipan yang sederhana namun penuh makna. Ia mengingatkan bahwa yang diperjuangkan dalam organisasi bukan hanya soal siapa yang paling pandai berbicara, tapi bagaimana semua bisa merasa menjadi bagian dari perjalanan.

Namun demikian, setiap individu dalam organisasi juga perlu memiliki kedewasaan emosional. Ketika gagasannya tidak diterima, bukan berarti dirinya ditolak. Ketika pandangannya dikritisi, bukan berarti ia dilecehkan. Sebaliknya, ini adalah bagian dari proses pemurnian ide dan pencarian jalan terbaik bagi kepentingan bersama.

Hal yang tak kalah penting adalah kembali pada tujuan awal organisasi. Apapun bentuknya—komunitas sosial, organisasi politik, atau kelompok usaha—organisasi dibentuk untuk mencapai cita-cita yang lebih besar daripada sekadar memenuhi ambisi pribadi. Maka, setiap langkah dan keputusan yang diambil harus selalu diarahkan untuk mendekatkan pada visi kolektif, bukan sekadar memuaskan kepentingan satu-dua orang.

Kebesaran suatu organisasi bukan diukur dari seberapa sering semua anggotanya sepakat, tetapi dari kemampuannya menyatukan perbedaan untuk bergerak maju dalam satu arah. Karena pada akhirnya, bukan keseragaman yang membuat kita kuat, tetapi persatuan dalam keberagaman.