Generasi Apatis: Akibat Sekolah yang Melupakan Politik.!


NURUL EKA
 - Coba tanyakan pada siswa SMA hari ini: apa itu demokrasi? Apa fungsi DPR? Siapa kepala daerah mereka? Besar kemungkinan kamu akan mendapatkan jawaban yang setengah matang—atau bahkan tatapan kosong. Miris? Pasti. Tapi ini adalah realita dari sistem pendidikan kita yang nyaris buta politik.

Di saat dunia sedang menghadapi gelombang krisis demokrasi, disinformasi, dan polarisasi ekstrem, Indonesia justru masih menempatkan pendidikan politik sebagai “isu pinggiran”. Padahal, pendidikan politik bukan soal ideologi semata—ia adalah fondasi penting agar warga negara paham hak, kewajiban, dan mekanisme kerja negara yang mereka tinggali.

Lantas, mengapa pendidikan politik di sekolah itu penting? Dan apa akibatnya jika kita terus mengabaikannya?

1. Sekolah Adalah Tempat Menumbuhkan Kesadaran Kewarganegaraan

Pendidikan bukan hanya soal matematika atau kimia. Sekolah adalah ruang pembentukan karakter dan kesadaran kolektif. Jika siswa diajarkan tentang pentingnya menjaga lingkungan atau menghargai perbedaan budaya, maka kenapa tidak diajarkan pula bagaimana memilih pemimpin yang baik, atau bagaimana memahami konstitusi?

Tanpa pendidikan politik, generasi muda akan tumbuh menjadi warga negara yang tahu segalanya—kecuali negaranya sendiri.

2. Pendidikan Politik Adalah Vaksin terhadap Hoaks dan Polarisasi

Dalam dunia digital saat ini, anak muda sangat rentan terhadap disinformasi. Banyak dari mereka membuat keputusan politik berdasarkan meme, potongan video, atau narasi bombastis di media sosial. Tanpa bekal literasi politik, mereka mudah dimanipulasi dan diarahkan tanpa sadar.

Pendidikan politik yang baik bisa menjadi vaksin bagi masyarakat dari pengaruh ekstremisme, populisme murahan, dan kebencian berbasis identitas.

3. Demokrasi Butuh Partisipasi—Dan Partisipasi Butuh Pemahaman

Pemilu lima tahun sekali bukan satu-satunya bentuk partisipasi politik. Ada aksi sosial, petisi publik, forum diskusi, hingga pengawasan kebijakan. Tapi bagaimana mungkin generasi muda bisa ikut serta jika mereka tidak paham cara kerja sistemnya?

Kita butuh warga negara yang tidak sekadar mencoblos, tapi juga kritis terhadap janji politik, paham tentang APBD/APBN, tahu bagaimana menyuarakan aspirasi, dan bisa berdialog lintas perbedaan.

4. Politik Bukan Sesuatu yang “Kotor”—Kita Sendiri yang Harus Memperbaikinya

Salah satu alasan mengapa banyak sekolah enggan menyentuh tema politik adalah karena stigma: politik dianggap kotor, penuh konflik, dan terlalu sensitif. Padahal justru karena itulah generasi muda perlu diajarkan dari awal bagaimana terlibat secara sehat.

Mereka harus tahu bahwa politik bisa menjadi alat perubahan—asal dimainkan oleh orang-orang yang paham etika, hukum, dan nilai-nilai kebangsaan. Dan semua itu dimulai dari bangku sekolah.

5. Membangun Generasi Kritis, Bukan Sekadar Patuh

Kita tidak butuh generasi yang hanya pandai menghafal undang-undang. Kita butuh generasi yang bisa bertanya: "Mengapa kebijakan ini dibuat? Siapa yang diuntungkan? Apakah ada alternatif lain?"
Tanpa pendidikan politik, sekolah hanya akan melahirkan generasi patuh, bukan generasi yang peka dan kritis terhadap isu sosial-politik.

Saatnya Sekolah Tidak Buta Politik

Sudah waktunya kita menempatkan pendidikan politik di posisi yang layak. Bukan sekadar pelengkap pelajaran PKN, tapi sebagai pilar pembentuk karakter warga negara.
Politik bukan hanya urusan para elite di gedung parlemen. Politik adalah tentang bagaimana jalan dibangun, harga sembako ditentukan, hingga bagaimana suara rakyat diwakili.

Dan jika kita ingin Indonesia punya masa depan demokrasi yang sehat dan matang, maka kita harus mulai dari sekolah. Dari ruang kelas. Dari para guru. Dari anak-anak yang hari ini kita abaikan—tapi besok akan menentukan arah bangsa.